Yudha Isninawati, S.Pd

Kepala dan Guru MA Muro'atuddin Magetan

 Setiap insan yang akan lahir ke dunia ini sudah di tetapkan garis hidupnya oleh Sang Khalik. Namun dalam perjalanannya setiap orang dapat memilih jalan hidupnya. Pun dalam memilih karier atau pekerjaan, setiap insan akan melihat peluang yang bisa memberinya jalan rezeki untuk menyambung hidupnya atau merancang masa depannya nanti.

 Menjadi guru sebenarnya bukan cita-cita saya dari kecil. Impian terindah saya adalah menjadi seorang perawat. Namun memang takdir Allah harus berkata lain saya harus terganjal dengan tinggi badan saya yang tidak bisa memenuhi syarat. Kala itu untuk menjadi perawat bisa selepas SMP yaitu di Sekolah Keperawatan (sekarang Akademi Kebidanan). Ketentuan tinggi badan minimal 150 cm, tinggi badan saya tidak nyampai, hehe.

Hingga selepas SMA saya harus segera memutuskan kemana langkah saya selanjutnya. Karena kedua orang tua berprofesi guru dan waktu itu kedua kakak saya juga sedang menempuh kuliah di bidang keguruan, maka saya pun akhirnya memilih kuliah di keguruan juga.

Menjadi seorang guru dengan harapan ke depannya nanti bisa menjadi PNS seperti kedua orang tua saya. Walaupun di bandingkan dengan profesi kedinasan lain gaji guru masih belum sebanyak sekarang dan belum ada tambahan kesejahteraan sertifikasi atau lauk pauk seperti saat ini. Karena kedua orang tua memiliki harapan jika menjadi guru PNS setidaknya ada pemasukan rutin dan wajib setiap bulannya.

Dan sekaranglah yang saya jalani menjadi seorang guru honorer di sebuah madrasah swasta, di sambi les private untuk menambah pemasukan. Sudah berusaha berkali-kali mengikuti ujian CPNS namun belum nyantol juga, hehe. Sejak 2008 sampai sekarang belum ada tanda-tanda menjadi PNS bahkan sampai usia hampir mendekati kepala 4 pun kebijakan pemerintah belum berpihak kepada nasib baik saya.

Seiring berjalannya waktu kebijakan-kebijakan pemerintah juga mengalami perkembangan zaman. Sertifikasi yang semula hanya hitungan tahun kini mulai menyesuaikan dengan adanya kebijakan baru. Saat masa pengabdian sudah memenuhi syarat sertifikasi, kebijakan baru muncul kembali dengan banyak perubahan yang membuat saya dan teman seangkatan harus terganjal tidak lolos.

Pernah saat itu bulan puasa, ada panggilan tes sertifikasi. Di sistem lolos dan memenuhi syarat untuk ujian. Saat pengumuman tiba, saya tidak lolos. Penasaran dengan sesama teman Fisika se-kabupaten yang mengikuti ujian. Satu pun ternyata tidak ada yang lolos dalam ujian tersebut. Selidik punya selidik, untuk Fisika ternyata memang tidak ada kuota. Yassalam, tepok jidat. Kalo tidak ada kuota kenapa harus ada ujian sih, protes kami waktu itu. Ya wes manut aja…

***

 Penerimaan CPNS pun juga semakin memberatkan kami para guru honorer yang sudah mulai “sepuh”. Banyak teman-teman guru honorer yang usianya di atas saya pun juga masih menunggu-nunggu kebijakan pemerintah yang sering menebarkan isu-isu semua guru honorer akan di angkat menjadi PNS. Akan tetapi pada realitanya sekian waktu hanya berlalu seperti debu. Pengangkatan pun harus bersyarat, hanya sistem yang bisa meloloskan.

Nasib yang di alami guru honorer memang bukan salah siapa-siapa. Itu adalah sebuah konsekuensi dari pilihan hidup seorang guru honorer. Saya pernah membaca postingan yang membandingkan kehidupan guru honorer dengan artis. Di situ dituliskan bahwa artis di bayar mahal hanya untuk merusak moral bangsa, sedangkan guru honorer hanya di bayar murah untuk mencerdaskan anak bangsa.

Saya hanya tersenyum membaca postingan tersebut dan mulai rasan-rasan dengan sesama teman guru honorer. Kenapa harus membandingkan nasib kita dengan nasib orang lain? Tentu saja semua pilihan dan semua profesi itu ada konsekuensi yang harus di tanggung dan dipertanggung jawabkan. Simpel saja kan jika kita mengeluh menjadi guru honorer ya tinggal manuver jadi artis, tinggalkan dunia pendidikan. Harga di dunia itu sangat murah jika di bandingkan harga akhirat, diskusi kami waktu itu.

Ada sebuah tulisan Yahya bin Muadz dalam Ad-Dunya Zhillun Zail halaman 31 yang saya copas dari tulisan tangan teman FB saya. “Wahai manusia, engkau mencari dunia dalam keadaan bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya, dan engkau mencari akhirat dalam keadaan seperti orang yang tidak membutuhkannya (malas-malasan). Padahal dunia sudah mencukupimu walaupun engkau tidak mencarinya. Sedangkan akhirat hanya di dapatkan dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam mencarinya, maka pahamilah keadaanmu.”

Dari tulisan tersebut, saya bisa belajar bahwa memang tidak semua usaha atau profesi harus di bayar mahal. Contohnya adalah guru honorer. Pernah dalam suatu pengajian -entah kapan, saya lupa-, Ustadz memberi kami motivasi yang luar biasa. Dalam tingkatan akhirat nanti yang akan masuk surga terlebih dahulu adalah guru honorer, belum sertifikasi di madrasah swasta pula. Haha…kadang ada benarnya juga, namun syaratnya cukup berat kan? Ya…sebuah keikhlasan yang harus di tata setiap hari dalam hati saat akan menjalankan tugas sebagai guru honorer. Ada akhirat yang sudah menanti, dan janji Allah itu pasti tidak seperti janji-janji pemerintah, ups.

Mungkin pemerintah menjadi jembatan sabar bagi kami para guru honorer. Dengan kebijakan sekarang menyulitkan kami yang sudah berusia senja untuk berpeluang menjadi PNS. Penerimaan CPNS memberikan peluang yang lebar bagi para fresh graduate. Mengapa pemerintah tidak memberikan kesempatan bagi kami para guru honorer yang sudah berusia tua dan mengabdi lama terlebih dahulu untuk di beri kesempatan menjadi PNS? Bukankah di mana-mana lowongan pekerjaan mengutamakan yang berpengalaman? Siapa yang mau jawab?

Hehe, boleh dong kami yang sudah makan asam garam di dunia pendidikan bertahun-tahun merasa pede menjadi PNS. Walaupun mungkin secara fisik kami sudah mulai menua, akan tetapi secara semangat dan keahlian kami juga tidak ketinggalan. Namun memang kebijakan pemerintah akan selalu berubah. Kata orang tua dahulu “wolak walike zaman”. Jadi bisa jadi suatu hari nanti, hati pemerintah akan di bukakan oleh Allah, mau benar-benar merealisasikan janji-janji yang sudah pernah di tebar.

Kami para guru honorer hanya bisa saling bercerita nasib yang sama. Kesempatan menjadi guru PNS hanya dalam angan. Namun saya dan teman-teman masih terus berdoa agar suatu saat nanti kebijakan pemerintah bisa lebih berpihak kepada kami para “pengabdi negara”, hehe. Saya sendiri tidak munafik jika menjadi seorang guru honorer gajinya cukup sedikit. Pernah dengar gaji seorang guru honorer hanya lima puluh ribu rupiah dalam sebulan. Namun itu yang menjadi keunikan tersendiri bagi guru honorer, dengan gaji yang lumayan kecil namun semangat kerjanya tinggi.

Para teman-teman guru honorer yang sudah lama mengabdi juga sudah tidak kurang usahanya mengajukan tuntutan kepada pemerintah. Mereka mengadakan demo agar tuntutan dan nasib mereka di perhatikan. Namun semua tuntutan memang tidak semuanya bisa terpenuhi. Ada hal-hal yang kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti, hanya bisa menunggu dan menjalani dengan sabar tanpa putus asa.

Seperti saat awal pandemi, dana bantuan covid begitu mudahnya mengalir kepada masyarakat, kami para guru honorer pun belum mendapat perhatian. Padahal dampak covid pun juga melanda kami para guru honorer. Apalagi dengan pembelajaran sistem daring, membuat jebol kantong kami untuk membeli paket data internet.

Namun Alhamdulillah akhir Oktober yang lalu sudah ada pengajuan dana bantuan paket data dan uang untuk kami para guru honorer. Hanya sabar lagi yang dapat kami lakukan menunggu pencairan. Untuk teman-teman yang ada di naungan Dinas Pendidikan Alhamdulillah sudah cair, namun kami yang di Kementerian Agama harus antri. Karena memang kedua kementerian tersebut berbeda kebijakan.

Pengajuan tersebut cukup memberi kami angin segar di saat pandemi bantuan di beberapa daerah untuk masyarakat mengalir begitu dengan lancar, kini juga akan sampai kepada kami. Mungkin dalam pandangan masyarakat, kami para guru tidak terdampak karena kami libur di rumah tidak mengajar di bangku sekolah atau madrasah. Namun dalam kenyataannya dengan sistem daring ini banyak sekali kendala yang di hadapi baik dari siswa maupun guru.

Kadang mengelus dada juga, saat masyarakat secara merata menyamakan guru satu dengan satunya. Bahwa guru memberi tugas yang sulit, memakai media yang membuat jebol data, gurunya hanya makan dan tidur siswanya di suruh mengerjakan tugas dengan deadline jam sekian. Padahal tidak semua guru seperti itu. Dalam benak saya malah bagaimana mereka bisa belajar dengan mudah tapi murah. Maka dari itu saya tidak pernah memberi materi atau tugas melalui zoom atau link You Tube. Mata pelajaran saya memang sulit jika hanya jika siswa hanya membaca sendiri, oleh karena itu saya harus berkreasi dengan media yang nantinya mudah untuk siswa saya.

Tidak sekedar menyiapkan bahan ajar, kami para guru juga di tuntut oleh pemerintah untuk membuat perangkat pembelajaran yang sekarang pun ada tiga buku kerja.  Sekali lagi sebuah resiko pekerjaan memang harus kita tanggung. Jangan mengeluh jika kita sudah memilih.

Semoga saja pemerintah bisa menjamin kesejahteraan para guru honorer yang saya tahu kinerjanya pun tidak bisa dianggap remeh. Dan sandaran utamanya tetap Allah Azza wa Jalla Sang Pemilik kekuasaan. Sebesar apa pun usaha kita meminta kepada pemerintah, jika Sang Kuasa belum berkenan maka hanya waktu yang akan menentukan seberapa besar doa dan usaha kita.

Tetap semangat….!!

*Tulisan sudah dimuat dalam antologi Nubar Omera Pustaka, terpilih menjadi tulisan favorit ke-5